Kamis, 11 Agustus 2011

Biografi Abu Hanifah

ABU HANIFAH (Ulama Yang Juga Tajir)
“Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih berakal, lebih mulia dan lebih wara' dari
Abu Hanifah.” (Yazid bin Harun) 
 

Sekilas tentang kehidupannya 

Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis.
Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus
dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui
Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin
Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali
menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih. 

Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa
pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering
menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering
mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari. 

Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad
untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar
tangannya selalu di atas (selalu memberi). 

Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia
sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat
serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang
permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi. 

Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi
tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang
pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya
aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang
sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta
tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan
mengambilnya.” 

Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu,
Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta
titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al
Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia
telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.” 

Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah
seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri.
Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia
berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat
darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki
sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati
Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga
mendapatkan barang yang bagus di tokonya. 

Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan
yang melimpah. 

Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan
kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia
belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para
penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap
dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan
kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian
sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui
tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari
Allah.” 

Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya
di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari
seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata, 
“Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.” 
Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” 
Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” 
“Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah. 
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati
toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata, 
“Aku punya pakaian yang kamu pesan.” 
Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah, 
“Berapa aku harus membayar pegawaimu?” 
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah. 
Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?” 
“Ya,” kata Abu Hanifah 
Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?” 

Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini
dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak,
kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu
dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.” 

Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan
sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya,
perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan
aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka
juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena
sesungguhnya aku orang miskin.” 

Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan
satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga
modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan
meminta laba darimu.” 

Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah
seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun
di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah
ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah
tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah
berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya
kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan
sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang
tersebut.” 

Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan
tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah
bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.”
Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih
melihatnya.” 

Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf
di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan
jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju
baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju
barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali
lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir. 

Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas
nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham
perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar
emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak
satu dinar. 

Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian
perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan
mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu
beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu
kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila
kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada
barang tersebut.” 

Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi
tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya
mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut,
tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya
mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang
sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh. 

Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam
bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan
orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah
seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak
berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah
dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang
kejelekan musuhnya.” Maka Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat
waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.” 

Abu Hanifah adalah orang yang pandai mengambil hati manusia dan berusaha keras
untuk melanggengkan persahabatan dengan mereka. Seperti diketahui bahwasanya jika
saja ada orang asing yang duduk di majlisnya tanpa ada maksud dan keperluan, maka jika
orang itu hendak pergi ia bertanya kepadanya, apabila orang itu mempunyai kebutuhan
maka ia akan membantunya dan apabila sakit ia akan menjenguknya sampai orang itu
menjadi teman yang dekat dengannya. 

Di samping yang telah disebutkan itu semau, ia juga adalah seorang yang banyak
berpuasa dan bangun malam (untuk shalat), berteman dengan al-Qur'an serta beristighfar
meminta ampunan Allah pada penghujung malam. 
Dan di antara sebab ketekunannya dalam beribadah dan semangatnya adalah karena pada
suatu waktu ia bertemu dengan sekelompok orang, lalu ia mendengar mereka berkata,
“Sesungguhnya orang yang kamu lihat ini tidak pernah tidur malam.” Maka, begitu
telinganya menangkap apa yang mereka katakan itu, berkatalah ia di dalam hati,
“Sesungguhnya diriku di sisi manusia berbeda dengan apa yang aku lakukan di sisi Allah.
Demi Allah, sejak saat ini tidak boleh ada lagi orang yang berkata tentangku apa yang
tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di malam hari hingga aku menjumpai Allah
(wafat).” 

Kemudian mulai hari itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah kepada
Allah. Di saat malam telah menjelang dan punggung telah menuju ke peraduan
(tenggelam dalam tidur), ia bangun malam lalu memakai pakaian yang paling bagus,
merapikan jenggot, memakai minyak wangi dan berhias, kemudian menuju mihrabnya
dan mulai menghidupkan malam dengan khusyu' beribadah kepada Allah, larut dalam
membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh
ketundukan. 

Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia
menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja. 

Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan
seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya,
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih
dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah
tangisan yang mengiris hati. 

Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat
'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu.
Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di
mana ia meninggal sebanyak 7000 kali. 

Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan
dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan, 
Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah 
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah 
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka 
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka 
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari
sang pengasih 
“Abu Hanifah an-Nu'man adalah seorang yang sangat keras pembelaannya
terhadap hak-hak Allah yang tidak boleh dilanggar, banyak diam dan selalu
berfikir.” (Imam Abu Yusuf) 

Pada suatu hari Abu Hanifah mendatangi majlis Imam Malik yang sedang berkumpul
dengan para sahabatnya, maka tatkala ia keluar (karena pengajian sudah bubar),
berkatalah Imam Malik kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Apakah kalian tahu
siapa orang itu.?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian sang Imam berkata, “Ia adalah
an-Nu'man bin Tsabit, seorang yang apabila mengatakan bahwasanya tiang masjid ini
adalah emas maka perkataannya itu tentulah menjadi hujjah dan sungguh benar-benar
tiang itu akan keluar seperti yang dikatakannya itu.” 

Tidaklah Imam Malik berlebihan dalam mensifati Abu Hanifah dengan hal demikian
karena memang ia memiliki hujjah yang kuat, kecepatan dalam megambil keputusan
yang tepat dan ketajaman dalam berfikir. 

Kitab-kitab sejarah telah menceritakan bagaimana pendirian dan sikapnya terhadap para
penentang dan musuh-musuhnya dalam hal ra'yu dan aqidah, yang kesemuanya itu
menjadi saksi akan kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Malik tentang Abu
Hanifah, yang mana jika seandainya ia mengatakan bahwasanya pasir yang ada di
depanmu adalah emas maka tidak ada alasan bagi kamu kecuali percaya dan menerima
terhadap apa yang ia katakan. Maka bagaimana halnya jika ia mendebat tentang
kebenaran.? 

Sebagai satu contoh apa yang terjadi dengan salah seorang dari Kufah yang disesatkan
Allah ia adalah seorang yang terpandang di mata sebagian orang dan kata-katanya
didengar oleh mereka. Ia mengatakan kepada orang-orang bahwasanya Utsman bin Affan
pada asalnya adalah seorang yahudi dan ia tetap menjadi yahudi setelah datangnya agama
Islam. Maka demi mendengar perkataannya tersebut Abu Hanifah menghampirinya dan
berkata, “Saya datang kepadamu hendak melamar anak perempuanmu untuk salah
seorang sahabatku.” 

Ia menjawab, “silahkan wahai Imam, sesungguhnya orang seperti dirimu tidak akan
ditolak apabila meminta sesuatu, tetapi kalau boleh tahu siapakah orang yang mau
menikahi anak perempuanku itu.?” 

Abu Hanifah menjawab, “seseorang yang dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan dan
kekayaan, dermawan dan ringan tangan serta suka membantu orang lain, hafal kitab
Allah Azza wa Jalla, selalu menghidupkan seluruh malamnya untuk beribadah dan
banyak menangis karena takutnya kepada Allah.” 

Maka orang itu berkata, “cukuplah wahai Abu Hanifah, sesungguhnya sebagian dari sifat
yang engkau sebutkan tadi telah menjadikan orang itu pantas untuk menikahi anak
perempuan Amirul Mu'minin.” 

Kemudian Abu Hanifah berkata lagi, “akan tetapi ia memiliki satu sifat yang harus
engkau pertimbangkan.” 

Ia bertanya, “apakah sifat tersebut.” 
Sang Imam menjawab, “sesungguhnya ia adalah seorang yahudi.” 

Maka setelah mendengar jawaban tersebut ia terguncang kaget seraya berkata, “ia
seorang yahudi? apakah engkau akan memintaku untuk menikahkan anak perempuanku
dengan seorang yahudi wahai Abu Hanifah?! Demi Allah aku tidak akan melakukannya
sekalipun ia memiliki semua sifat baik dari kaum terdahulu hingga yang terakhir.” 

Maka Abu Hanifah pun berkata, “engkau menolak untuk menikahkan anak perempuanmu
dengan seorang yahudi dan engkau sangat mengingkarinya, kemudian engkau
mengatakan kepada orang banyak bahwasanya Rasulullah SAW telah menikahkan kedua
putri beliau dengan seorang yahudi !!” 

Maka demi mendengar apa yang dikatakan Abu Hanifah tubuhnya bergetar kemudian
berkata, “aku memohon ampun kepada Allah dari perkataan jelek yang telah aku katakan,
dan aku bertaubat kepada-Nya dari kedustaan yang pernah aku lakukan.” 

Contoh yang lain adalah apa yang terjadi pada salah seorang Khawarij* yang bernama
adh-Dhahhak asy-Syary. Pada suatu hari ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata,
“Bertaubatlah engkau wahai Abu Hanifah.” 

Sang Imam menjawab, “Dari hal apakah aku bertaubat?” 
Orang itu menjawab, “Dari perkataanmu tentang dibolehkannya menentukan satu hakim
untuk memutuskan apa yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah.” 

Abu Hanifah berkata, “Apakah engkau mau berdebat denganku tentang masalah ini?” ia
menjawab, “Ya” 

Kemudian Abu Hanifah berkata, “Jika kita berselisih tentang apa yang kita perdebatkan,
siapakah yang akan menjadi hakim antara kita” 
Orang itu menjawab, “Pilihlah yang engkau mau.” 

Maka sang Imam memandang salah seorang temannya dan berkata, “Wahai fulan, jadilah
engkau penengah di antara kami tentang apa yang kami perselisihkan” 

Selanjutnya ia berkata kepada Sang khawarij, “Aku ridlo temanmu menjadi penengah
antara kita, apakah kamu juga demikian?” 
Maka dengan senang hati ia menjawab, “Tentu” 

Namun kemudian Abu Hanifah berkata, “Celakalah kamu, bagaimana kamu
membolehkan adanya penengah di antara kita tentang apa yang kita perselisihkan,
sedangkan kamu mengingkari adanya di antara dua sahabat Rasulullah SAW?! 

Maka orang terebut diam seribu bahasa dan tidak dapat menjawabnya. 

Kemudian di antara contoh lainnya adalah kisah perdebatan beliau dengan Jahm bin
Shafwan seorang pemimpin aliran Jahmiyah yang sesat dan seorang yang menanam
kejelekan di bumi Islam. Pada suatu saat ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Aku
ingin berbincang-bincang denganmu tentang beberapa perkara yang telah aku siapkan.”
Akan tetapi Abu Hanifah menjawab, “berbincang-bincang denganmu adalah merupakan
aib, dan membicarakan tentang apa yang kamu yakini adalah seperti api yang menyala.” 

Maka Jahm berkata, “bagaimana engkau menghukumiku demikian, sedangkan engkau
belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar
perkataanku?” 
Kemudian Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya hal yang demikian telah tersebar dan
terkenal di kalangan orang awam maupun para ulama, sehingga boleh bagiku untuk
berkata demikian karena berita tentangmu telah mutawatir.” 

Setelah itu Jahm berkata lagi, “aku tidak akan bertanya kepadamu kecuali tentang iman.” 
Abu Hanifah menyela, “apakah sampai saat ini kamu belum tahu tentang iman sehingga
kamu bertanya kepadaku tentangnya?” 

Jahm menjawab, “aku tahu, akan tetapi aku merasa ragu pada salah satu macamnya.” 
Abu Hanifah berkata, “ragu dalam hal keimanan adalah kufur.” Kemudian Jahm berkata,
“kamu tidak boleh mensifatiku dengan kekufuran sebelum kamu mendengar apa yang
membuatku kafir,” 

Maka Abu Hanifah berkata, “katakan apa yang ingin kamu tanyakan!” 
Jahm berkata, “kabarkanlah kepadaku tentang seorang yang meyakini akan keberadaan
Allah dengan hatinya, dan ia yakin bahwasanya Allah adalah Esa dan tiada sekutu
baginya. Ia juga tahu tentang sifat-sifat Allah dan yakin bahwasanya tidak ada sesuatupun
yang menyamai-Nya. Kemudian ia mati akan tetapi tidak menyatakan keimanannya itu
dengan lisannya. Apakah ia mati dalan keadaan mukmin atau kafir.?” 

Abu Hanifah menjawab, “ia mati dalam keadaan kafir dan termasuk ahli neraka jika ia
tidak menyatakan dengan lisannya tentang apa yang diyakini hatinya, kecuali jika ada
sesuatu sebab yang menghalanginya untuk menyatakan keimanan dengan lisannya.” 

Kemudian Jahm membantah dengan berkata, “bagaimana ia tidak menjadi mukmin
sedangkan ia telah benar-benar meyakini adanya Allah.?” 

Maka kemudian Abu Hanifah berkata, “jika kamu beriman kepada al-Qur'an dan kamu
menjadikannya sebagai hujjah maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengannya, tapi
jika kamu tidak mengimani al-Qur'an dan kamu tidak memandangnya sebagai hujjah,
maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengan sesuatu yang biasa kami katakan kepada
orang yang menyelisihi Islam.” 

Akan tetapi kemudian Jahm menjawab, “justru aku mengimani al-Qur'an dan
menjadikannya sebagai hujjah.” 

Maka Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah
menjadikan keimanan itu dengan dua anggota badan yaitu hati dan lisan, tidak dengan
salah satunya, dan yang demikian itu telah di sebutkan dalam Kitab Allah al-Qur'an dan
hadits Rasulullah SAW, diantaranya adalah: 
Firman Allah Ta'ala, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada
Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya
berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang
yang menjadi saksi atas (kebenaran al-Qur'an dan kenabian Muhammad s.a.w) Mengapa
kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami,
padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang
mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka
kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang
ikhlas keimanannya).”( al-Maidah: 83-85) 
 

Disebutkan dalam ayat di atas bahwasanya mereka meyakini kebenaran dengan hati dan
menyatakannya dengan lisan, maka karena apa yang mereka ucapkan Allah memasukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. 

Dia juga berfirman, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepda Musa dan 'Isa
serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-Nya.”( Al-Baqarah: 136) 
 

mereka diperintah untuk melafadzkan keimanan mereka dan tidak cukup hanya dengan
hati. 

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Katakanlah, Laa ilaaha illallaah,
maka kalian akan selamat.”
beliau tidak menjadikan keselamatan hanya dengan
keyakinan hati, akan tetapi harus disertai dengan dengan ucapan. 

Di dalam hadits yang lain beliau SAW bersabda, “akan keluar dari neraka orang yang
mengatakan Laa ilaaha illallaah.” Beliau tidak mengatakan, akan keluar dari neraka orang
yang tahu adanya Allah. Dan jikalau perkataan itu tidak dibutuhkan, akan tetapi cukup
keimanan itu hanya dengan hati, maka iblis itu termasuk orang yang beriman. Karena
iblis tahu bahwasanya Allah itu ada, ia tahu bahwasanya Allah lah yang telah
menciptakannya dan Allah pula yang akan mematikannya. Ia juga yakin bahwasanya
Allah yang akan membangkitkannya dan Allah pula yang menyesatkannya. 

Disebutkan dalam al-Qur'an bahwasanya iblis berkata, “Engkau menciptakan aku dari api
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Al-A'raaf: 12 
“Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia)
dibangkitkan.” (Al-Hijr: 36) 
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.”(al-A'raaf: 16) 


Dan jika apa yang engkau yakini adalah benar wahai Jahm, maka sebagian banyak orang
kafir menjadi beriman karena mereka mengakui adanya Allah dengan hatinya walaupun
mereka mengingkari dengan lisan mereka. 

Allah berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (An-Naml:14) 
 

Keyakinan yang ada di hati mereka tidak dapat menjadikan mereka beriman, akan tetapi
mereka tetap orang kafir karena pengingkaran lisan mereka. 

Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan tentang permasalahan iman dengan sangat
gamblangnya, kadang dengan al-Qur'an dan terkadang dengan hadits, sehingga tampak
pada wajah Jahm rasa minder dan kalah sampai kemudian ia berpamitan kepada Abu
Hanifah seraya berkata, “engkau telah mengingatkanku akan sesuatu yang terlupa, aku
pamit sebentar.” Akan tetapi ia pergi tanpa kembali lagi. 

Di antara contoh yang lain, diceritakan bahwasanya pada suatu saat Abu Hanifah
menemui sekelompok orang yang mengingkari adanya Sang Pencipta (Atheis), maka ia
berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan jika ada sebuah kapal yang penuh
dengan muatan barang, di tengah lautan ia dikelilingi oleh ombak besar yang saling
bertabrakan dan diterjang oleh angin yang sangat kencang, akan tetapi kapal tersebut
dapat berlayar dengan sangat tenang menuju tempat tujuan tanpa adanya goncangan
sedikitpun, sedangkan di atas kapal tersebut tidak ada seorang nahkodapun didalamnya.
Apakah hal tersebut masuk akal?” 
Mereka menjawab, “Tidak, sesungguhnya kejadian tersebut sama sekali tidak dapat
diterima oleh akal” 

kemudian ia berkata, “Begitukah? Subhaanallah!! Kalian mengingkari adanya sebuah
kapal yang dapat berjalan dengan tenang tanpa nahkoda, sedangkan kalian meyakini
bahwasanya alam semesta yang penuh dengan lautan luas, gugusan bintang yang selalu
beredar, burung-burung yang selalu bertashbih dan berbagai macam binatang ada
(tercipta) dengan sendirinya tanpa ada Sang Pencipta yang menciptakan dan mengatur
semua itu? Celakalah kalian.!” 

Demikianlah perjalanan hidup beliau yang selalu membela agama Allah dengan apa yang
telah dianugerahkan oleh-Nya yang berupa kekuatan berhujjah dan kefasihan dalam
berbicara. 

Kemudian tatkala maut menjemput, telah ditemukan bahwasanya di antara wasiat beliau
adalah agar jasadnya dikuburkan di tanah yang bersih (tidak ada syubhat rampasan atau
lainnya) dan agar dijauhkan dari setiap tempat yang dikhawatirkan diambil dengan
ghosob (diambil tanpa seizin pemiliknya). 

Maka tatkala wasiat tersebut sampai ke telinga al-Manshur ia berkata, “siapakah yang
berani mencela dia di depanku.?” 

Abu Hanifah juga telah berwasiat agar jasadnya dimandikan oleh al-Hasan bin
'Ammaroh, maka tatkala memandikannya ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai
Abu Hanifah, dan semoga Dia menghapus dosa-dosamu sebagai balasan dari apa yang
pernah engkau lakukan. Sesungguhnya engkau tidak pernah berbuka sejak tiga puluh
tahun, dan tidak pernah tidur sejak empat puluh tahun. Dan sungguh engkau telah
membikin susah ulama setelahmu (karena harus mencontoh dan meniru perilakumu).” 


CATATAN: 

* Al-Khawarij: orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Ali dan Mu'awiyah RA

(SUMBER: Hayaah at-Taabi’iin karya Dr. Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Jld.VI, h.127-144) 
 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons