Kamis, 11 Agustus 2011

Biografi Imam Syafii

Imam Syafii Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi     

*Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubayd
bin 'Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri 'Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu,
beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan
paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di 'Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi', kakek dari kakek
beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi'i)- menurut sebagian
ulama  adalah  seorang  sahabat  shigar  (yunior)  Nabi.  As-Saib,  bapak  Syafi',  sendiri
termasuk  sahabat  kibar  (senior)  yang  memiliki  kemiripan  fisik  dengan  Rasulullah
shollallahu'alaihiwasallam.  Dia  termasuk  dalam  barisan  tokoh  musyrikin  Quraysy
dalam  Perang  Badar.  Ketika  itu  dia  tertawan  lalu  menebus  sendiri  dirinya  dan
menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi'i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala' saja. Adapun
ibu  beliau,  terdapat  perbedaan  pendapat  tentang  jati  dirinya.  Beberapa  pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin 'Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan  seorang  wanita  dari  kabilah  Azadiyah  yang  memiliki  kunyahUmmu
Habibah.  Imam  an-Nawawi  menegaskan  bahwa  ibu  Imam  Syafi'i  adalah  seorang
wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat KelahirannyaWaktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat
yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir.
Tepatnya  di  sebelah  Selatan  Palestina.  Jaraknya  dengan  kota  Asqalan  sekitar  dua
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu  Hajar  memberikan  penjelasan  bahwa  riwayat-riwayat  tersebut  dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama
Ghazzah  di  wilayah  Asqalan.  Ketika  berumur  dua  tahun,  beliau  dibawa  ibunya  ke
negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena
sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun,
beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari IlmuPertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi 'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya,  tetapi  sang  guru  ternyata  rela  tidak  dibayar  setelah  melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi'i bercerita, "Di al-Kuttab
(sekolah  tempat  menghafal  Alquran),  saya  melihat  guru  yang  mengajar  di  situ
membacakan  murid-muridnya  ayat  Alquran,  maka  aku  ikut  menghafalnya.  Sampai
ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal
bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera
guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia
tidak  ada.  Demikianlah,  belum  lagi  menginjak  usia  baligh,  beliau  telah  berubah
menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram  untuk  menghadiri  majelis-majelis  ilmu  di  sana.  Sekalipun  hidup  dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan  tembikar,  potongan  kulit,  pelepah  kurma,  dan  tulang  unta  untuk  dipakai
menulis.  Sampai-sampai  tempayan-tempayan  milik  ibunya  penuh  dengan  tulang-tulang, pecahan  tembikar, dan  pelepah kurma yang telah bertuliskan  hadits-hadits
Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan
bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan
menghafal kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau  juga  tertarik  mempelajari  ilmu  bahasa  Arab  dan  syair-syairnya.  Beliau
memutuskan untuk tinggal di  daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal  kefasihan  dan  kemurnian  bahasanya,  serta  syair-syair  mereka.  Hasilnya,
sekembalinya  dari  sana  beliau  telah  berhasil  menguasai  kefasihan  mereka  dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal
yang  kemudian  banyak  dipuji  oleh  ahli-ahli  bahasa  Arab  yang  pernah  berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin
Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin 'Ali bin Yazid agar mendalami
ilmu  fiqih,  maka  beliau  pun  tersentuh  untuk  mendalaminya  dan  mulailah  beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti
Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-'Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi' -yang  masih  terhitung  paman  jauhnya-,  Sufyan  bin  'Uyainah  -ahli  hadits  Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin 'Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa' Imam
Malik.  Di  samping  itu  beliau  juga  mempelajari  keterampilan  memanah  dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di
antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih  lagi  di  sana  ada  Imam  Malik  bin  Anas,  penyusun  al-Muwaththa'.  Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca  al-Muwaththa'  yang  telah  dihafalnya  di  Mekkah,  dan  hafalannya  itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam
Malik demi mengambil ilmu  darinya  sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di
samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti
Ibrahim bin Abu Yahya, 'Abdul 'Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma'il bin Ja'far,
Ibrahim bin Sa'd dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di
sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan
bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi'i hidup pada masa-masa awal pemerintahan
Bani 'Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani 'Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan 'Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam
dalam memadamkan pemberontakan orang-orang 'Alawiyah yang sebenarnya masih
saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih
yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi'i secara
khusus.  Dia  melihat  orang-orang  dari  Ahlu  Bait  Nabi  menghadapi  musibah  yang
mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau
pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa
takut  sedikitpun,  suatu  sikap  yang  saat  itu  akan  membuat  pemiliknya  merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu', padahal
sikapnya  sama  sekali  berbeda  dengan  tasysyu'  model  orang-orang  syi'ah.  Bahkan
Imam  Syafi'i  menolak  keras  sikap  tasysyu'  model  mereka  itu  yang  meyakini
ketidakabsahan  keimaman  Abu  Bakar,  Umar,  serta  'Utsman  ,  dan  hanya  meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang
terdapat  dalam  Al-Quran  maupun  hadits-hadits  shahih.  Dan  kecintaan  beliau  itu
ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli
fiqih madzhab mereka.
Tuduhan  dusta  yang  diarahkan  kepadanya  bahwa  dia  hendak  mengobarkan
pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan
dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang 'Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang 'Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah
menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi'i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad
bin  al-Hasan  -ahli  fiqih  Irak-,  beliau  berhasil  meyakinkan  Khalifah  tentang
ketidakbenaran  apa  yang  dituduhkan  kepadanya.  Akhirnya  beliau  meninggalkan
majelis  Harun  ar-Rasyid  dalam  keadaan  bersih  dari  tuduhan  bersekongkol  dengan
'Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan
mendalami madzhab Ahlu Ra'yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada
Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma 'il bin 'Ulayyah dan Abdul Wahhab
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali
ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah.
Mereka  yang  telah  mendengar  nama  beliau  dan  ilmunya  yang  mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika  kamasyhurannya  sampai  ke  kota  Baghdad,  Imam  Abdurrahman  bin  Mahdi
mengirim surat kepada Imam Syafi'i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang
berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat  Alquran  dan  lain-lain.  Maka  beliau  pun  menulis  kitabnya  yang  terkenal,  Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan
ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana
telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh
Ahlu  Ra'yi.  Sampai-sampai  dikatakan  bahwa  ketika  beliau  datang  ke  Baghdad,  di
Masjid Jami ' al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra 'yu. Tetapi ketika hari
Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu
kalam. Sementara Imam Syafi'i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu
karena  orang-orang  ahli  kalam  menjadikan  akal  sebagai  patokan  utama  dalam
menghadapi  setiap  masalah,  menjadikannya  rujukan  dalam  memahami  syariat
padahal  mereka  tahu  bahwa  akal  juga  memiliki  keterbatasan-keterbatasan.  Beliau
tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Dan  begitulah  kenyataannya.  Provokasi  mereka  membuat  Khalifah  mendatangkan
banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai  Yaumul  Mihnah,  ketika  dia  mengumpulkan  para  ulama  untuk  menguji  dan
memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi'i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir.  Sebenarnya  hati  kecilnya  menolak  pergi  ke  sana,  tetapi  akhirnya  ia
menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat  sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir
kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela SunnahKeteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, "Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi,
maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain." Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir
as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat  banyak  atsar  tentang  ketidaksukaan  beliau  kepada  Ahli  Ilmu  Kalam,
mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, "Setiap orang
yang  berbicara  (mutakallim)  dengan  bersumber  dari  Alquran  dan  sunnah,  maka
ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah
igauan  belaka."  Imam  Ahmad  berkata,  "Bagi  Syafi'i  jika  telah  yakin  dengan
keshahihan  sebuah  hadits,  maka  dia  akan  menyampaikannya.  Dan  prilaku  yang
terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik
kepada fiqih." Imam Syafi 'i berkata, "Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu
kalam dan ahlinya." Al-Mazani berkata, "Merupakan madzhab Imam Syafi'i membenci
kesibukan  dalam  ilmu  kalam.  Beliau  melarang  kami  sibuk  dalam  ilmu  kalam."
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu
kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta
dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan  mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu
kalam.

*Wafatnya
Karena  kesibukannya  berdakwah  dan  menebar  ilmu,  beliau  menderita  penyakit
bawasir  yang  selalu  mengeluarkan  darah.  Makin  lama  penyakitnya  itu  bertambah
parah  hingga  akhirnya  beliau  wafat  karenanya.  Beliau  wafat  pada  malam  Jumat
setelah shalat Isya' hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54
tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi'i, sesudah wafatnya.
Dia berkata kepada beliau, "Apa yang telah diperbuat  Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah?" Beliau menjawab, "Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus."
KaranganKarangan----KarangannyaKarangannyaKarangannya
Sekalipun  beliau  hanya  hidup  selama  setengah  abad  dan  kesibukannya  melakukan
perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis
banyak  kitab.  Jumlahnya  menurut  Ibnu  Zulaq  mencapai  200  bagian,  sedangkan
menurut  al-Marwaziy  mencapai  113  kitab  tentang  tafsir,  fiqih,  adab  dan  lain-lain.
Yaqut  al-Hamawi  mengatakan  jumlahnya  mencapai  174  kitab  yang  judul-judulnya
disebutkan  oleh  Ibnu  an-Nadim  dalam  al-Fahrasat.  Yang  paling  terkenal  di  antara
kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah  (yang telah direvisinya)  mengenai Alquran dan As-Sunnah serta
kedudukannya dalam syariat.



Sumber:Sumber:
1.  Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2.  Siyar A'lam an-Nubala'
3.  Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi', terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi 'i fi
Itsbat al-'Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi 'i, Cirebon
Sumber: Majalah Fatawa

 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons